BUKAN tanpa alasan Kepulauan Langkawi dijuluki ”Permata” Kedah, negara bagian di utara Malaysia. Ibarat batu permata yang kian cemerlang karena diasah, Langkawi bertransformasi dari tanah ”terkutuk” menjadi destinasi wisata di Malaysia dengan 3 juta turis per tahun dan menjadi pesaing serius Bali.
Berkesempatan mengunjungi dan berkeliling daerah ini dalam rangka Pameran Dirgantara dan Maritim Internasional Langkawi (LIMA) pada akhir Maret 2013, kami mendapati bahwa daerah wisata ini tertata dan terdesain dengan baik. Alam yang asri dan sentuhan modernisme saling terpadu dan menjadi daya tarik wisata Langkawi.
Dari jendela pesawat yang membawa kami dari Jakarta via Kuala Lumpur, gugusan Kepulauan Langkawi yang terdiri atas 104 pulau terlihat tak ubahnya batu-batu permata dan giok-giok hijau yang berserakan di atas permadani biru Andaman, yaitu laut yang berada di tepi Selat Malaka dan berbatasan langsung dengan Thailand.
Mendekati Pulau Langkawi—pulau utama di gugusan kepulauan ini terlihat garis-garis pantai dengan hamparan pasir putih yang bersih. Sesaat sebelum pesawat mendarat, kami menyaksikan ratusan kapal pesiar berjajar di Dermaga Teluk Baru. Ternyata, kami juga mendapati dermaga kapal pesiar milik kaum jetset dari sejumlah negara ini berserakan di berbagai titik di pulau ini.
Begitu pula ketika kami menginjakkan kaki di Bandar Udara Internasional Langkawi, sejumlah jet pribadi terparkir rapi di apron bandara yang cukup sibuk ini. Tak jauh berbeda dengan Monako di Perancis, Langkawi adalah ibarat ”negara” kecil yang menjadi surga bagi warga asing dan para turis.
Hotel, kondominium, restoran, dan resor-resor mewah tumbuh menjamur, terutama di kawasan pinggir pantai. Serupa di Bali, properti wisata ini kebanyakan dimiliki warga negara asing. Ini terutama pascatsunami pada 2004. Sebagian kawasan di pantai barat Pulau Langkawi ini sempat terkena dampak tsunami yang berpusat di Aceh.
Perumahan warga yang rusak terkena tsunami kini berubah menjadi resor-resor dan hotel- hotel baru. ”Rumah saya sempat terhantam tsunami. Air masuk hingga 2 kilometer ke daratan. Semenjak saat itu, saya menjual rumah dan pindah dari pinggir pantai. Rumah saya sekarang menjadi hotel.”
Di luar berprofesi nelayan dan bertanam padi, warga pribumi Langkawi yang mayoritas beretnis Melayu bekerja sebagai sopir taksi, karyawan hotel dan resor, serta penjaga toko duty free. Dengan berkembangnya wisata, mereka relatif tidak sulit mencari kerja. Tidak ada yang merambah hutan atau menangkapi satwa-satwa liar, seperti elang laut yang menjadi maskot dari Langkawi, sehingga keasrian alam di sini sangat terjaga.
Tidak hanya itu, infrastruktur di wilayah ini betul-betul diperhatikan. Di sejumlah titik jalan, kami mendapati tulisan berbahasa Malaysia, ”aduan kerosakan jalan”, yang berisi nomor layanan hunting telepon, e-mail, dan pesan singkat penerimaan pengaduan kerusakan jalan. Tidak heran, jalan-jalan di daerah ini sangat mulus. Bandingkan dengan di Tanah Air yang sejumlah obyek wisatanya terpuruk akibat terkendala buruknya infrastruktur.
Kereta gantung ke puncak
Konservasi alam menjadi obyek utama wisata di sini selain status ”surga” belanja berkat pembebasan bea pajak dan cukai yang berlaku di kawasan pulau ini. Memberi makan kerbau liar atau elang laut lalu ber-snorkeling ria ataupun berarung jeram ditawarkan dalam paket wisata di sini selain ”godaan” belanja barang-barang impor bermerek dengan harga miring.
Adapun obyek wisata yang menjadi magnet utama di sini adalah kereta gantung. Namun, cable car di Langkawi ini lain daripada biasanya. Lintasan kereta gantung sepanjang 2.079 meter ini berbentuk curam menanjak, menghubungkan Resor Teluk Burau di tepi laut dengan puncak Gunung Machincang setinggi 708 meter.
Adrenalin kami terpacu begitu kompartemen kereta yang masing-masing berkapasitas empat orang itu mulai melaju meniti seutas kabel menuju puncak gunung. Kami pun seolah melayang terbang ke atas, jauh lebih tinggi daripada elang-elang laut yang beterbangan di atas rimbunan pohon di bawah kami yang masuk kawasan Geopark berumur 550 juta tahun yang diakui Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO).
Detak jantung kian berdebar ketika beberapa saat kemudian kereta kabel terus meluncur seolah ingin menghantam tebing curam setinggi 400 meter. Tiba di puncak, temperatur udara anjlok 5 derajat celsius. Udara mendadak dingin, kabut pun tiba-tiba menyergap.
Belum hilang tegangnya, kami disuguhi pemandangan lainnya yang menakjubkan: Jembatan Langit Langkawi. Sesuai dengan namanya, jembatan sepanjang 125 meter berbentuk kurva yang dibuka pada tahun 2003 ini menghubungkan antarpuncak bukit di ketinggian 700 meter di atas permukaan laut. Namun, sayangnya, wahana unik tersebut ditutup untuk umum karena alasan perbaikan sehingga kami batal melintasinya.
Lalu, di kejauhan, samar- samar terlihat garis pantai barat Langkawi yang indah dan tembok laut raksasa yang selesai dibuat tahun 2002 pada masa pemerintahan Perdana Menteri Mahathir Mohamad. Tembok di lepas pantai ini dibangun untuk melindungi kawasan dermaga kapal pesiar dan Bandara Internasional Langkawi yang berada di tepi laut. Tembok inilah yang kemudian menyelamatkan sebagian aset penting di kawasan ini dari tsunami besar tahun 2004.
Visi Mahathir Mohamad
Mahathir adalah arsitek di balik kesuksesan Langkawi yang kini menjadi penghasil devisa terbesar di sektor pariwisata di Malaysia. Bapak pembangunan Malaysia yang dilahirkan di negara bagian tersebut mengubah ”wajah” Langkawi yang setengah abad silam hanya kepulauan sepi, tempat rehabilitasi pasien tuberkulosis.
Apalagi, Langkawi memiliki legenda yang buruk. Konon, berdasarkan cerita rakyat setempat, pulau tersebut dahulu dikutuk oleh Mahsuri, seorang perempuan Melayu asal Phuket, Thailand, yang dibunuh beramai-ramai oleh warga desa setempat. Menjelang kematiannya, ia lalu mengutuk Langkawi dan warganya bernasib buruk tujuh turunan. Makamnya hingga kini masih dikeramatkan, sementara namanya diabadikan di gedung ekshibisi terbesar di pulau itu.
Seperti diberitakan kantor berita Bernama, 3 April 2006, dulu nyaris tidak ada layanan kapal feri dan pengunjung rata-rata hanya 1.000 orang setiap tahun. Mahathir, yang pernah bertugas sebagai dokter praktik di Langkawi dan menyadari potensi besar wisatanya, lalu menjadikan kepulauan tersebut kawasan wisata terpadu pada awal pemerintahannya tahun 1980-an.
Bandara dan pelabuhan kapal feri dibangun. Dana miliaran ringgit dari Pemerintah Malaysia dikucurkan. Status duty free atau bebas pajak impor pun ditetapkan di sini. Lalu, sebagai ajang promosi, event besar dunia macam LIMA digelar hingga saat ini. Tidak tanggung-tanggung, seperti diberitakan Bernama, Mahathir meyakini Langkawi bisa menyaingi ketenaran Pulau Bali.
Tidak mengherankan, Mahathir teramat populer di Langkawi. Fotonya masih terpampang di baliho di jalan dan kereta-kereta gantung di sini. Setiap kali ia datang, meskipun tidak lagi menjabat, warga berebut untuk berjabat tangan dengannya. Ini, antara lain, terlihat dalam ajang LIMA 2013 yang juga dihadiri oleh Mahathir.
Langkawi menunjukkan, visi besar pemimpin bangsa yang dituangkan dalam kerja keras, perencanaan, dan pengelolaan yang baik mampu menghasilkan hal besar dan mengalahkan kutukan sekalipun.
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon